MANGROVE BAGI EKOSISTEM WILAYAH PESISIR
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hutan
mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara
sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada
pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di
sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang
di lepas pantai yang terlindung. Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan
dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping
dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan
biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan
muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang
tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi.
Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang
pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan. Bersifat
dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang
terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya.
Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti
sediakala.
Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis,
ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah
pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami
kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000
ha/tahun. Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat
terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu
hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Demikian juga kondisi hutan mangrove di Sumatera
Barat hanya 4,7% yang baik, sementara 95,3% dalam keadaan rusak. Oleh karena
itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk memulihkan kembali hutan mangrove
yang rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya bagi kesejahteraan manusia
dan mendukung pembangunan wilayah pesisir. Peningkatan kesadaran dan
pengetahuan masyarakat tentang arti penting keberadaan mangrove dalam mendukung
kehidupan perekonomian masyarakat pesisir perlu terus digalakkan.
Pengikutsertaan masyarakat dalam upaya rehabilitasi dan pengelolaan mangrove
dapat menjadi kunci keberhasilan pelestarian mangrove. Upaya ini harus disertai
dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, misalnya melalui kegiatan silvofishery, pemanenan (seperti: kayu, nira nipah,
kepiting bakau, kerang bakau, dan lain-lain) secara lestari serta pengembangan
wisata. Isu tsunami dapat menjadi pemicu untuk menggalakkan kembali rehabilitasi
hutan mangrove yang rusak di pantai barat Sumatera dalam rangka meredam efek
merusak dari tsunami, mengingat pantai barat Sumatera merupakan jalur gempa
yang berpotensi menimbulkan tsunami.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
yang akan dibahas yaitu mengenai :
1. Bagaimana kondisi hutan
mangrove di Indonesia?
2. Bagaimana kondisi hutan
mangrove di Sumatera Barat?
3. Bagaimana peranan ekosistem
hutan mangrove terhadap kondisi ekologis wilayah pesisir?
4. Bagaimana peranan ekosistem
hutan mangrove terhadap kondisi sosial ekonomi wilayah pesisir?
5. Apa upaya dalam mengatasi
berbagai kerusakan ekosistem hutan mangrove?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dalam pembahasan ini yaitu, untuk mengetahui dan mengkaji:
1. Kondisi hutan mangrove di
Indonesia dan Sumatera Barat.
2. Peranan ekosistem mangrove
terhadap kondisi ekologis wilayah pesisir.
3. Peranan ekosistem mangrove
terhadap kondisi sosial ekonomi wilayah pesisir.
4. Upaya dalam mengatasi
berbagai kerusakan ekosistem mangrove.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KONDISI EKOSISTEM MANGROVE
1.
Kondisi Umum di Indonesia
Tekanan
yang berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan
tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah mengakibatkan
terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis. Berdasarkan data
tahun 1984, Indonesia memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta
ha, kemudian berdasar hasil interpretasi citra landsat (1992) luasnya
tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Martodiwirjo, 1994); dan
berdasarkan data Ditjen RRL (1999), luas hutan mangrove Indonesia tinggal 9,2
juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di luar kawasan).
Namun demikian, lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6 %), ternyata
dalam kondisi rusak parah, di antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7
juta ha di luar kawasan hutan. Kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000
ha/th. Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis
mangrove sebenarnya sudah dimulai sejak tahun sembilan-puluhan. Data penanaman
mangrove oleh Departemen Kehutanan selama tahun 1999 hingga 2003 baru
terealisasi seluas 7.890 ha (Departemen Kehutanan, 2004), namun tingkat
keberhasilannya masih sangat rendah. Data ini menunjukkan laju rehabilitasi
hutan mangrove hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Di samping itu, masyarakat juga
tidak sepenuhnya terlibat dalam upaya rehabilitasi mangrove, dan bahkan
dilaporkan adanya kecenderungan gangguan terhadap tanaman mengingat perbedaan
kepentingan.
2.
Kondisi Mangrove di Sumatera Barat
Hampir
sama dengan kondisi Indonesia pada umumnya, kondisi hutan mangrove di Sumatera
Barat juga sedang mengalami degradasi. Berdasar data Ditjen RRL (1999), total
luas hutan mangrove di Sumatera Barat 51.915,14 ha. Di daratan Sumatera Barat,
hutan mangrove yang terletak dalam kawasan hutan 6.060,98 ha dan di luar
kawasan hutan 13.253,76 ha, sedangkan sisanya terletak di Kepulauan Mentawai
32.600,00 ha. Dari luasan hutan mangrove yang berada di daratan Sumatera Barat
tersebut hanya 4,7% (909,82 ha) yang kondisinya baik, sementara 95,3%
(18.404,92 ha) dalam keadaan rusak.
- PERANAN EKOLOGIS MANGROVE
- Mangrove dan Tsunami
Fungsi
dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan
di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari
tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat
yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai
habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Musibah gempa
dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau
Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya
mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai. Berdasar karakteristik
wilayahnya, pantai di sekitar kota Padang pun masih merupakan alur yang sama
sebagai alur rawan gempa dan tsunami. Sebagai peredam gelombang dan angin
badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan penahan sedimen (sediment
trap) yang diangkut oleh aliran air permukaan.
- Mangrove dan Sedimentasi
Hutan
mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi
atau abrasi pantai. Erosi di pantai Marunda, Jakarta yang tidak bermangrove
selama dua bulan mencapai 2 m, sementara yang berbakau hanya 1 m (Sediadi,
1991). Dalam kaitannya dengan kecepatan pengendapan tanah di hutan mangrove,
Anwar (1998) dengan mengambil lokasi penelitian di Suwung Bali dan Gili Sulat
Lombok, menginformasikan laju akumulasi tanah adalah 20,6 kg/m2/th atau setara
dengan 14,7 mm/th (dominasi Sonneratia alba); 9,0 kg/m2/th atau
6,4 mm/th (dominasi Rhizophora apiculata); 6,0 kg/m2/th atau 4,3 mm/th
(bekas tambak); dan 8,5 kg/m2/th atau 6,0 mm/th (mangrove campuran). Dengan
demikian, rata-rata akumulasi tanah pada mangrove Suwung 12,6 kg/m2/th atau 9
mm/th, sedang mangrove Gili Sulat 8,5 kg/m2/th atau 6,0 mm/th. Data lain
menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya pengendapan tanah setebal antara 6
sampai 15 mm/ha/th atas kehadiran mangrove. Informasi semacam ini sangat
diperlukan guna mengantisipasi permasalahan sosial atas lahan timbul di
kemudian hari.
- Mangrove dan Biota Laut.
Sebagai
penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari serasah daun dan
ranting pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi organisme pemakan detritus d(etritivore)
dan sebagian lagi didekomposisi oleh bakteri decomposer menjadi bahan-bahan anorganik
(nutrien) yang berperan dalam menyuburkan perairan dan tentu saja kesuburan
mangrove itu sendiri.
Sebagai
daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground)
dan daerah pemijahan s(pawning ground). Bermacam macam biota
perairan baik yang hidup diperairan pantai maupun di lepas pantai. Disamping
itu ada beberapa organism perairan yang menjadikan ekosistem mangrove sebagai
habitat utamanya.. Fungsi ini memungkinkan ekosistem mangrove berperan dalam
memberi energi bagi revitalisasi sumberdaya perikanan di laut.
- Mangrove dan Intrusi Air Laut
Mangrove
juga mampu dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan.
- PERANAN SOSIAL EKONOMIS MANGROVE
Contoh
pemanfaatan mangrove, baik langsung maupun tidak langsung antara lain:
- Arang dan Kayu Bakar
Arang
mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang
dan arang onshyu dari Cina. Pengusahaan arang mangrove di Indonesia
sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, antara lain di Aceh, Riau, dan
Kalimantan Barat. Pada tahun 1998 produksi arang mangrove sekitar 330.000 ton
yang sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang dan Taiwan melalui
Singapura.
- Mangrove dan Produktivitas Perikanan
Kebijakan
pemerintah dalam menggalakkan komoditi ekspor udang, telah turut andil dalam
merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah kawasan hutan. Empang parit
yang semula digarap oleh penggarap tambak petani setempat, berangsur beralih
“kepemilikannya” ke pemilik modal, serta merubah menjadi tambak intensif yang
tidak berhutan lagi (Bratamihardja, 1991). Ketentuan jalur hijau dengan lebar
130 x nilai rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah tahunan (Keppres
No. 32/1990) berangsur terabaikan. Padahal, hasil
penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) dalam Dit. Bina Pesisir (2004)
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan
mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin meningkatnya luasan
kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat dengan
membentuk persamaan Y = 0,06 + 0,15 X; Y merupakan produksi tangkapan
dalam ton/th, sedangkan X merupakan luasan mangrove dalam ha.
- Bahan Bangunan
Kayu
mangrove seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza sangat
cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya
lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun.
- Bahan Baku Chip
Jenis
Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada tahun 1998
jumlah produksi chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian besar
diekspor ke Korea dan Jepang.
- Tanin
Tanin
merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata, dan
Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak kulit pada industry sepatu,
tas, dan lain-lain.
- KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE
Kerusakan
ekosistem mangrove lebih disebabkan oleh akibat kegiatan manusia
(antropogenik) baik secara langsung maupun tidak langsung. Kawasan
mangrove yang umumnya berada pada daerah pesisir keberadaanya terancam
oleh kebutuhan masyarakat yang berada disekitarnya. Kebutuhan itu dapat
berupa pemanfaatan lahan untuk pemukiman, sebagai lahan kegiatan ekonomi
seperti industri maupun pertambakan, kebutuhan bahan bakar non migas
dsb. Kebutuhankebutuhan itu memaksa masyarakat untuk melakukan banyak
hal yang dapat merusak hutan mangrove seperti membuka dan menkonversi
lahan serta penebangan liar.
Kerusakan
dapat menurunkan fungsi-fungsi mangrove baik secara bio-ekologis berupa
rusaknya system maupun fungsi ekonomis berupa penurunan produksi.
Kesalahan managemen hutan mangrove juga berpotensi besar terhadap
degradasi fungsi mangrove. Ada beberapa dampak yang akan muncul sebagai
akibat aktivitas manusia pada atau sekitar wilayah mangrove Kerusakan
alami merupakan akibat lanjut dari erusaan akibat kegiatan antropogenik.
Terpaan ombak yang terus-menerus akan merusak ekosistem mangrove, aan
tetapi hal ini itdak akkan terjadi apabila tidak terjadi penurunan
fungsi mangrove sebagai penahan gelombang akibat kegiatan manusia.
- UPAYA MENGATASI BERBAGAI KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE
- Restorasi Dan Arahan Pemulihan Kawasan Mangrove
Mencermati uraian pentingnya konservasi sumberdaya alam hayati; dengan
demikian konsep pengembangan pemulihan kawasan mangrove dalam bidang konservasi
dapat dilakukan melalui:
- Penanganan dan pengendalian lingkungan fisik dari berbagai bentuk faktor penyebabnya,
- Pemulihan secara ekologis baik terhadap habitat maupun kehidupannya,
- mengharmoniskan perilaku lingkungan sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui, mengerti, memahami hingga pada akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung jawab untuk mempertahankan, melestarikannya,
- meningkatkan akutabilitas kinerja institusi yang bertanggung jawab dan atau pihak-pihak terkait lainnya.
Adapun langkah-langkah kongkrit yang dilakukan untuk tujuan pengendalian
lingkungan fisik, antara lain dengan melakukan kegiatan:
a.
pembinaan dan peningkatan kualitas habitat,
b.
peningkatan pemulihan kualitas kawasan hijau melalui
kegiatan reboisasi, penghijauan, dan atau perkayaan jenis tetumbuhan yang
sesuai.
Terhadap pemulihan habitat, dilakukan terhadap kawasan-kawasan
terdegradasi atau terganggu fungsi ekosistemnya, untuk mengembalian peranan
fungsi jasa bio-ekohidrologisnya dan dilakukan dengan cara:
a.
rehabilitasi,
b.
reklamasi habitat,
Sedangkan peningkatan kualitas kawasan mangrove dilakukan dengan
pengembangan jenisjenis tetumbuhan yang erat keterkaitannya dengan sumber
pakan, tempat bersarang atau sebagai bagian dari habitat dan lingkungan
hidupnya. Mengharmoniskan perilaku lingkungan sosial dapat dilakukan dengan
cara memberikan penyuluhan, pelatihan dan atau menunjukkan contoh-contoh
aktivitas yang berwawasan pelestarian lingkungan. Agar langkah kongkrit di atas
dapat dilakukan serasi dan selas serta sejalan berdasarkan kaidah-kaidah
konservasi, akutabilitas kinerja petugas juga perlu dibekali dengan pengetahuan
yang dinilai memadai.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis,
ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah
pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami
kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000
ha/tahun. Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat
terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu
hanya sekitar 1.973 ha/tahun.
Kerusakan
ekosistem mangrove lebih disebabkan oleh akibat kegiatan manusia
(antropogenik) baik secara langsung maupun tidak langsung. Kawasan
mangrove yang umumnya berada pada daerah pesisir keberadaanya terancam
oleh kebutuhan masyarakat yang berada disekitarnya.
B. SARAN
Pengembangan pemulihan kawasan mangrove dalam bidang konservasi dapat
dilakukan melalui:
- Penanganan dan pengendalian lingkungan fisik dari berbagai bentuk faktor penyebabnya,
- Pemulihan secara ekologis baik terhadap habitat maupun kehidupannya,
- mengharmoniskan perilaku lingkungan sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui, mengerti, memahami hingga pada akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung jawab untuk mempertahankan, melestarikannya,
- meningkatkan akutabilitas kinerja institusi yang bertanggung jawab dan atau pihak-pihak terkait lainnya.
Comments
Post a Comment